|
“M
|
aafkan aku, Mini. Kali ini kamu gagal
lagi.” Kata ratu bidadari pada Minilista si calon bidadari. Ini merupakan ujian
terakhir bagi Minilista untuk dapat lolos menjadi seorang bidadari kayangan
langit ke tujuh.
“Tapi Ratu, saya sudah berusaha
dengan maksimal. Mana mungkin saya gagal lagi?” Keluh Mini.
“Dari semua nilai ujian yang
kamu peroleh memang mendapat nilai yang bagus, tapi ada satu kekuranganmu.”
“Apakah itu, Ratu?”
Ratu Bidadari tidak menjawab
pertanyaan Mini kali ini. Ia berjalan menjauhi mini dan hanya meninggalkan
sebingkai senyum penuh makna yang belum sempat mini ketahui makna apakah
dibalik senyuman Ratu Bidadari itu. Hingga tiba saatnya ketika Mini harus
dikirim ke Bumi untuk mendapat hukuman sekaligus pelajaran untuknya agar ia
dapat menemukan jawaban atas pertanyaannya pada sang ratu.
“Tuhan... tempat apakah ini?”
Bumi yang ia pijak benar-benar
asing. Selama ini belum pernah ia berkunjung ke belahan bumi ini. Ternyata ini
merupakan tempat rahasia bagi bidadari yang dikhususkan untuk menghukum atau
mengasingkan calon bidadari yang tidak lulus ujian bidadari agar dia bisa
menjadi lebih baik dan mau berusaha lebih keras.
“Yuhuuuuu....?!” Teriak Mini.
“Yuhuuuu jugaaa...” nampaknya
ada yang menjawab sahutan Mini.
Ternyata Mini di hutan tak
sendiri, ia bertemu dengan seorang lelaki bertubuh sangat besar, saking
besarnya ia dapat membawa Mini hanya dengan satu tangan.
“Apakah kamu penghuni tempat
ini?” Tanya Mini.
“Tidak”
“Lalu?”
“Aku ingin mengasingkan diri.”
“Kenapa?”
Rider sangat penat dengan
kehidupan di kampung halamannya dulu. Ia merasa tidak bisa menjadi dirinya
sendiri saat ia hidup di dalam lingkungan yang penuh dengan tuntutan. Ketika
seorang laki-laki telah tumbuh dewasa, ia harus bisa memenuhi segala kemauan
orang tua terlebih kemauan ayahnya. Ayah Rider adalah orang yang sangat
berpengaruh, sehingga ia pun selalu menuntut anaknya untuk bisa menjadi teladan
bagi pemuda yang lain. Namun tidak untuk Giant Rider.
Sejak kecil, Rider adalah
seorang anak yang sangat penurut. Karena begitu penurut, ia rela masuk sekolah
di sekolah yang sebenarnya tak ia inginkan, melakukan hal-hal yang tidak ia
sukai yang kemudian berbuahlah penyesalan. Dan kejadian terakhri yang
menimpanya adalah ia dipaksa ayahnya untuk mengganti posisi ayahnya yang
sebenarnya tak begitu ia inginkan. Sejak saat itulah Rider ingin menentukan
nasib sendiri tanpa campur tangan orang lain, sampai suatu hari ia memutuskan
untuk pergi ke hutan asing untuk menemukan jati diri dan keberanian hidup.
“Ternyata kisahmu sama
denganku.” Celetuk Mini pada Rider yang sedang termenung sambil menatap api
unggun. Ia pun menceritakan kisah hidupnya dan alasan ia terbuang di hutan yang
asing ini.
Sejak pertemuannya dengan
Rider, kehidupan Mini menjadi lebih berwarna. Rider tak sungkan untuk selalu
membimbing Mini, mengajar dan melatihnya untuk dapat hidup dan bertahan di
hutan asing tersebut. Mereka juga saling berbagi pengalaman di tempat kehidupan
mereka terdahulu. Sampai pada suatu ketika,
Mini begitu penasaran dengan burung merpati yang setiap hari selalu
terbang menemui Rider. Ingin rasanya Mini membunuh rasa penasaran yang tak
tertahankan itu.
“Hei, merpati! Sedang apa kamu
kemari? Mengapa setiap hari aku selalu melihatmu hilir-mudik ke tempat ini?”
Tanya Mini dengan penuh penasaran.
“Hei juga gadis kerdil!”
“Aku bukan kerdil!” Seru Mini.
Merpati tertawa dan berkata,
“aku adalah merpati pengirim surat. Setiap hari aku mengantarkan surat Giant
Rider untuk Tuan Putri di Istana Lintang Timur.”
“Putri?” Dengan mata sedikit
melotot, Mini mengajukan pertanyaan kedua yang mengandung jauh lebih banyak
rasa penasaran daripada pertanyaannya yang pertama.
“Iya, Tuan Putri. Dia adalah kekasih
Giant Rider. Tapi tuan putri sedang sakit saat ini.” Dengan sangat menyesal,
merpati tak dapat melanjutkan ceritanya, karena ia harus pergi untuk mengantar
surat yang lain.
Jawaban merpati tak cukup
memuaskan rasa penasarannya malah justru rasa penasaran dalam hatinya bertambah
semakin banyak. Berjejal pertanyaan membendung jadi satu dalam pikiran
bercampur cemburu yang terselip seperti duri yang membuat hati semakin perih.
Begitu mendengar Rider sudah
punya kekasih, hatinya hancur berkeping-keping, tubuhnya lemah lunglai, bunga-bunga
yang semula indah dan menabjukan sekarang terlihat layu dan mulai membusuk. Tak
ia dengar lagi burung-burung bernyanyi, tak ia lihat lagi kupu-kupu menari. Air
danau yang semula jernih, kini telah menjadi keruh, berbau dan sangat kotor.
“Mengapa keadaan selalu tak
berpihak padaku?”
Sore itu hujan turun sangat
deras, namun ia tak beranjak dari tempat itu. Serasa terpaku dan tak dapat
bergerak. Ia hanya memandang pada satu arah disertai air mata yang berderai
tanpa henti. Perasaan ingin memiliki begitu terpatri dalam benaknya, namun ia
harus sadar bahwa rasa cintanya tak boleh menyakiti orang lain. Hatinya harus
setegar karang bahkan harus lebih tegar dibanding saat ia mendapat hukuman
karena tak lulus ujian bidadari.
Tak disangka, kebersamaannya
dengan Rider telah menumbuhkan perasaan cinta yang dalam. Mungkin Rider tak
pernah tahu perasaan ini padanya. Ia juga tak pernah tahu bahwa perhatian dan
kebaikan hatinya selama ini telah membuat gadis polos itu jatuh hati. Ketika benih-benih
asmara tumbuh, dunia terasa begitu indah teramat indah hingga sulit untuk
dilukiskan, hal ini berbanding lurus dengan rasa sakit yang timbul bila patah
hati karena cinta.
“Mini... Mini...!” Suara
lantang Rider terdengar semakin jelas dan semakin mendekat. “Apa yang kamu
lakukan di sini, Mini?”
Mini bergegas menghapus air
mata yang sulit mereda. Berbalik ia ke arah Rider. Ia berjalan setapak demi
setapak mendekati Rider. Air mata jatuh tak tertahan dan dipeluklah tubuh Rider
yang besar. Rider yang tak tahu menahu membalas pelukan mini dengan dekapan
hangat penuh kasih. Walau ia memiliki wajah yang garang dan dingin, namun
dekapannya begitu hangat dan penuh kasih.
“Ada apa Mini, kenapa kamu
menangis?”
Hanya sesegukan yang terdengar
dari mulut Mini. Masih tak kuasa untuk berkata. Ia hanya ingin memeluk dan tak
ingin jauh dari laki-laki bertubuh besar itu. Rider berusaha mengerti dan
mendekap Mini semakin kuat. Semakin lama dekapan itu semakin menyesakan Mini.
“Aku mencarimu dari tadi, kamu
ke mana saja?”
“Melihat danau saat metahari
terbit membuat perasaanku lega. Hati dan pikiranku yang tadinya sempit,
sekarang terasa begitu lapang. Tempat ini akan selalu menjadi tempat favoritku,
Rider.”
“Aku juga sangat suka tempat
ini. Begitu damai dan begitu tenang. Permukaan air yang luas dan tenang dengan
pantulan cahaya matahari yang genit saling berkedipan membuat perasaanku
menjadi hangat dan tak pernah kesepian.”
“Apakah kamu sebahagia itu
ketika bersamaku?”
Rider sedikit tak mengerti apa
yang dikatakan Mini padanya. Mencoba mencerna dan mencari jawaban dari
pertanyaan yang Mini ajukan, ia memalingkan pandangan menatap tajam mentari
pagi yang saat itu tak tertutup awal secuil pun. Cahaya yang semakin menghangat
dan memanaskan tiap inci kulit wajahnya.
Tak kuasa Mini menunggu
jawaban, ia pun segera pergi, namun tiba-tiba Rider memegang tangannya erat,
menyuruhnya untuk tidak pergi. Semakin erat, semakin kuat membuat jantung Mini
berdegup semakin kencang. Aliran darah berjalan sangat cepat, menggetarkan tiap
sisi bagian tubuhnya.
“Jangan pergi, Mini. Ku mohon
tetaplah di sisiku!”
Rider berbalik dan menatap Mini
dengan penuh arti.
“Mini...”
“Iya?”
“Mini... sejak aku bertemu
denganmu, hari-hariku menjadi penuh warna. Tak sedetik pun aku merasa kesepian,
karena kamu selalu membawa canda dan tawa disetiap hariku. Tak lelah kamu
selalu menemaniku. Hariku begitu lengkap denganmu. Ku mohon jangan kamu jauh
dariku.”
“Ta... tapi kamu telah...”
Ditengah kalimatnya yang terbata, ia dikagetkan dengan sikap Rider yang tiba-tiba
mendekatkan wajahnya ke wajahnya. Semakin dekat dan dekat, hingga hembusan
nafas Rider terasa begitu hangat membelai kulitnya yang tipis. Hingga akhirnya
Rider membisikan sebuah kalimat yang membuncahkan keheningan pagi itu. Kalimat
yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Mini... sedang apa kamu di
sini? Ayo, bangun... bangun!!”
Mini pun dengan sangat berat
membuka kedua matanya. Ternyata sejak tadi pagi ia tertidur di tepi danau.
“Dasar orang aneh!! Aku
khawatir setengah mati mencarimu. Ku kira kamu diterkam binatang buas, eh...
malah enak-enakan tidur di sini.”
Mini tersenyum kecewa, ternyata
ia hanya bermimpi. Dan didekapnya tubuh Rider yang besar itu.
“Kamu pasti dari tadi pagi
belum makan kan? Ayo, makan dulu!”
Mini beringsut berjalan mendahului
Rider. Rider hanya menatap dan tersenyum melihat tingkah gadis mungil yang
menggemaskan itu.
“Hahaha....!!” Tawa Rider.
...o0o...
Kebersamaan yang terasa tanpa
jarak, kehangatan yang selalu tercipta memusnahkan segala bentuk ketakutan,
kesenpian dan kesedihan di hutan asing itu. Mereka hidup dari kekayaan yang
alam sediakan untuk mereka, tak pernah ada keluh kesah, yang ada hanyalah canda
tawa dan keceriaan menikmati hidup tanpa kekangan dengan terus belajar menjadi
diri yang lebih baik dan lebih kuat.
“Hei, gadis jelek! Apa yang
sedang kamu pikirkan? Kenapa sejak kemarin kamu aneh?” Tanya Rider pada Mini
yang sedang termenung di depan api unggun.
“Mmmm... tidak ada, memang
kenapa? Apa aku terlihat begitu aneh, sampai kamu menanyakan hal itu?” Tanya
Mini penasaran.
“Tidak. Kamu memang sudah aneh
dari sananya. Hahahaha!!” Canda Rider.
Melihat Rider tertawa membuat
Mini merasa sangat dekat, namun ia ingat bahwa Rider sudah tak sendiri lagi.
Dalam hati ia berkata, bahwa dirinya ingin menjadi orang yang paling istimewa
dihati Rider, dan ia juga ingin bisa menjadi seseorang yang penting untuk
Rider.
“Andai ia tahu kalau
sebernarnya aku tidak ingin kehilangan dia. Aku bersyukur Ratu Bidadari
mengirimku ke tempat ini hingga akhirnya aku bisa bertemu Rider. Aku tidak
menyesal mengapa aku tidak jadi bidadari, karena takdir mempertemukanku dengan
seorang lelaki yang istimewa.” Gumam Mini dalam hati.
Malam sudah sangat larut, namun
mantan calon bidadari itu tak kunjung memejamkan kedua bola matanya. Pikirannya
masih melayang, teringat kata-kata seekor burung merpati pengantar surat
beberapa waktu lalu. Ada rasa tak percaya dan gemuruh rasa cemburu bila memang
benar Rider telah memiliki seorang kekasih, yaitu seorang putri yang sangat
cantik rupawan.
Tak henti-henti ia melirik
tenda tempat Rider tidur. Ia memikirkan apakah Rider sudah tidur atau belum.
Beberapa saat kemudian.
“Mini... Mini...? Apakah kamu
di dalam?” Bisik seorang perempuan di balik tenda.
Sontak Mini kaget mendengar
panggilan itu, hingga akhirnya ia berusaha mengenal suara siapakah itu.
“Ratu!!”
Malam itu, Ratu Bidadari
menemui Mini untuk memberi tahu beberapa hal tentang hukumannya saat ini. Ia
masih diberi kesempatan untuk bisa menjadi bidadari, sampai ia benar-benar tahu
apa yang perlu ia lakukan.
“Apa yang harus aku lakukan
Ratu, agar aku bisa lulus menjadi bidadari?”
“Cinta. Ketika kamu dapat
melakukan kebaikan atas dasar cinta, maka saat itu kau akan diangkat menjadi
bidadari.” Jawab Ratu dengan goresan senyum diwajahnya.
Namun Mini masih tak mengerti
dan Ratu pun hilang. Satu kata yang menjadi penghambat Mini untuk menjadi
bidadari adalah “Cinta”. Begitu sulit baginya untuk dapat menemukan cinta.
Definisi cinta saja ia tak tahu. Kasihan.
Mini beranjak dari tenda dan
keluar untuk sekadar mencari tahu apa yang perlu ia lakukan. Ia hanya
bolak-balik di depan tenda, ia pun berjalan di depan tenda Rider untuk
memastikan lelaki pujaannya telah tidur. Dengan hati-hati ia membuka sampiran
tenda dan mendongakan wajahnya hingga ia bisa melihat lelaki bertubuh besar
itu.
“Ternyata dia sangat lucu kalau
sedang tidur.” Kata Mini sambil menutup sampiran tenda kembali.
“Gadis bodoh!” Terdengar suara
cempreng di belakang Mini dan ternyata ia adalah merpati yang Mini temui
beberapa waktu lalu.
“Sedang apa kamu di sini?”
“Mengantar surat untuk Rider.”
“Dari tuan putri?”
“Bukan, tapi dari ayah tuan
putri.”
Merpati bercerita pada Mini,
bahwa keadaan tuan putri saat ini sudah sangat parah. Ia takut untuk memberi
kabar ini pada Rider karena ia tahu Rider akan sangat sedih. Mengetahui tuan
putri sakit saja, Rider terlihat begitu kurus ditambah lagi dia sedang ada
masalah dengan tuan raja sehingga dia enggan untuk pulang ke rumah.
“Sebenarnya ada masalah apa
Rider dengan ayahnya?”
“Ia tidak ingin menjadi raja.
Ia ingin hidup seperti orang biasa karena ia selalu ingin berpikir bebas.”
“Merpati, biar aku saja yang
menyerahkan surat itu pada Rider, bagaimana boleh kan?” Pinta Mini. Merpati pun
menyerahkan surat itu pada Mini.
Pagi yang sangat cerah. Burung
berkicau sangat merdu. Mentari menyambut hangat datangnya hari ini. Rider dan
gadis kecil itu duduk berdampingan sambil menyiapkan sarapan pagi di depan
tenda. Sore kemarin Rider menangkap seekor kelinci untuk dipanggang pagi ini.
“Kelihatannya lezat!” Seru Mini
sambil melempar senyum pada Rider. Reaksi Rider biasa saja, ia hanya tersenyum
dingin.
“Ini untukmu!” Kata Rider
sambil memberikan setusuk kelinci panggang yang lezat.
“Untukku semua? Bagianmu mana?”
“Aku belum lapar, kau makan
saja!”
“Huuufh... kau ini. Cepat buka
mulutmu. Aaa!!” Mini berusaha membujuk Rider untuk menyantap kelinci panggang
itu. Akhirnya bujukan Mini mujarap juga, karena dengan malas Rider pun membuka
mulutnya dan setelah beberapa potong daging masuk ke mulut Rider, membuat
pipinya yang tembam terlihat semakin tembam. Hal ini membuat Mini tertawa
terbahak-bahak. Rider pun ikut tertawa.
Siang ini adalah saat yang
tepat untuk Mini menyerahkan surat yang dikirim untuk Rider. kekuatan hati yang
ia kumpulkan menjadi modal agar ia mampu menyampaikan beberapa pesan untuk
Rider. Ia berjalan mendekati lelaki berpipi tembam itu yang sedang asyik duduk
di tepi danau.
“Ada sesuatu yang ingin ku
katakan padamu, Rider.”
“Katakan saja!”
“Aku sangat senang bisa bertemu
denganmu di tempat ini. Kau tahu, aku merasa hukuman yang ratu bidadari berikan
untukku adalah hukuman yang indah. Dapat bertemu dengan pemuda yang asyik
sepertimu membuatku merasa bahagia.”
“Aku juga senang bisa bertemu
denganmu. Kau teman yang selalu memberiku semangat dan kau aneh. Itu yang ku suka
darimu, Mini. Kau apa adanya.”
“Tapi raut wajahmu tak sesenang
ucapanmu. Apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku?” Pancing Mini hati-hati
membuat percakapan mereka terasa sedikit kaku.
“Hhaaahh... ada banyak hal di
dunia ini yang tak perlu orang lain tahu mengapa kita seperti ini dan seperti
itu.” Jelas Rider sambil menghela nafas panjang. Kemudian ia pun berjalan
menjauhi Mini.
Surat yang Mini pegang tak
kuasa ia berikan pada Rider. Ia menggenggap erat surat itu dan hanya terdiam
melihat Reder berjalan menjauhi dirinya. Rasa sakit dan cemburu bergumpal jadi
satu mencampur aduk rasa sayangnya pada Rider, namun ia tak ingin mengganggu
kehidupan cinta lelaki yang ia sayangi dengan kekasih sejatinya, karena ia
selalu ingin melihat Rider bahagia.
“Rider, aku sayang padamu.
Berpalinglah padaku jika kau butuhkan aku, karena aku akan selalu berusaha ada
di sisimu...” Ucapnya dalam hati.
Malam ini, Mini memberanikan
diri memberikan surat itu pada Rider. Rider menerimanya dengan perasaan
bersalah karena tak menceritakan hal ini sebelumnya pada gadis yang selama ini
tinggal bersamanya. Mini tak peduli pada hal itu. Ia meminta Rider untuk segera
pulang menjenguk tuan putri yang sedang terbaring sakit. Dengan berjuta kemelut
dalam hatinya, Rider pun memutuskan untuk pergi.
“Maafkan aku, Mini...”
Mini hanya tersenyum dan
memeluk Rider erat. Ia tak mau menjadi beban untuk lelaki yang ia cintai.
Hampir lima hari Rider tak
kunjung kembali ke hutan. Hati Mini menjadi sangat resah. Apakah yang terjadi?
Apakah tuan putri telah sembuh dan hidup bahagia bersama Rider?
pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang menghias pikirannya selama beberapa hari
ini.
“Apa kau menyesal, Mini?” Tanya
merpati yang sedari tadi memperhatikan Mini yang sedang gelisah.
Mini mencari-cari dari arah manakah
suara itu berasal, ternyata dari merpati yang ia kenal.
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Tidak usah berbohong, bola
matamu menjelaskan semuanya, bahwa kau menyesal telah melepas Rider ke tangan
tuan putri.” Bantah burung merpati.
Tiba-tiba Mini menangis. Ia tak
mengerti mengapa perasaannya begitu kacau setelah melepas kepergian Rider. Apa
yang salah pada dirinya sampai ia merasa begitu bersalah jika mencintai Rider.
Mini sudah tak tahan berlama-lama tinggal di hutan ini. kenangan-kengangannya
bersama Rider menjadi bumerang bagi hatinya yang tak bisa mendapatkan cinta
Rider. Keinginannya untuk segera menjadi bidadari begitu memuncak agar ia tak
ingat lagi siapa Rider dan cintanya pada Rider. Butiran bening mangalir deras
di kedua sudut matanya. Hal seripa juga dialami oleh merpati jantan itu yang
merasa sedih melihat pengorbanan cinta tak terbalas yang Mini lakukan untuk
Rider.
“Wahai sang bulan, beginilah
cinta oh cinta!” Seru burung merpati.
Beberapa detik kemudian
terdengar suara gesekan daun dari balik semak, nampaknya ada seseorang yang
datang. Lama Mini dan merpati mengamati, mencoba berusaha mengenal siapakah
seseorang di balik semak belukar itu. Kedua alis mata Mini menyata berusaha
mengamati dengan seksama siapakah ia. Mungkinkah orang jahat yang mencoba
mencelakakan Mini atau binatang buas? Mungkin itu yang terbesit di benak Mini
saat itu.
“Mini, kamu belum tidur?”
“Rider!”
“Maafkan aku, beberapa hari ini
aku tak bisa pulang. Jujur aku sangat mengkhawatirkanmu.”
“Tenang saja, aku tidak
apa-apa. Ada merpati yang selalu menemaniku. Bagaimana keadaan tuan putri saat
ini. Apakah sudah lebih baik?”
Rider menceritakan, bahwa
keadaan tuan putri saat ini bertambah buruk. Bahkan tabib memintanya untuk
mencari bunga mahkota ungu sebagai obat agar tuan putri lekas sembuh. Tapi
setelah beberapa hari berkelana, ia tak menemukan bunga yang tabib maksud.
“Rider, aku sangat
menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu gusar seperti ini. Wahai ratu bidadari
jadikanlah aku bunga mahkota ungu agar aku bisa menjadi obat bagi kesembuhkan
tuan putri. Aku ingin melihat Rider hidup bahagia dengan seseorang yang ia
cintai.” Doa Mini dalam hati sambil menatap bulan di langit malam yang terang.
Mini berjalan mendekati Rider.
Ia menggenggam tangan Rider erat seolah tak ingin berpisah dari lelaki yang
selama ini mengisi hatinya. Mereka saling berpengangan tangan dan saling
menatap dengan tatapan yang sangat dalam. Kemudian perlahan-lahan tubuh Mini
bercahaya. Cahaya yang sangat berkilau. Seperti kumpulan bintang-bintang
melapisi seluruh bagian tubuhnya.
“Mini, apa yang terjadi
padamu?” Teriak Rider.
“Rider, terima kasih kau telah
menemaniku. Tak lelah kau membantuku agar aku bisa terus bertahan di hutan
asing ini. Kau adalah teman yang sangat sabar dan sangat menyayangiku. Tak
sehari pun kau membiarkanku sendiri. Pada awalnya aku sangat cemburu mengetahui
kau telah punya kekasih, namun ku tahu kau perlu bahagia. Dan aku tak ingin kau
terus denganku namun kau tak bahagia. Aku ingin menjadi bagian dari
kebahagiaanmu. Rider, aku cinta padamu...”
“Mi mi mini...!!” Rider tak
sanggup berkata apapun melihat perubahan pada tubuh Mini yang sangat
menabjukan.
Cahaya yang menyelimuti tubuh
Mini mulai redup, tubuh Mini menghilang dan berubahlah menjadi sekuntum bunga
mahkota ungu. Rider pun kaget dengan kejadian tersebut.
“Mini...! Kau dimana? Aku tidak
ingin kehilanganmu! Ku mohon kembalilah Mini..!”
Rider mengakui, bahwa dirinya
juga sangat menyayangi Mini, namun ia tak bisa berdusta bahwa ia telah memiliki
cinta yang lain. Ia ingin selalu memelihara cinta yang telah ia pupuk sejak
lama bersama tuan putri.
“Tenang Rider, Mini tidak
pergi. Ia telah kembali ke langit dan telah lulus menjadi bidadari. Bunga
mahkota ungu itu sebagai hadiah untukmu.” Jelas merpati pada Rider yang sedang
termangu melihat bunga mahkota ungu itu.
Lelaki bertubuh besar nan gagah
itu tak kuasa menahan tangis. Ia sangat terharu dan berterima kasih atas apa
yang telah ia terima pada Mini si gadis calon bidadari yang sekarang telah
menjadi bidadari di langit ke tujuh. Mungkin Mini sudah tak ingat lagi padanya,
namun ia yakin Mini pun akan menemuakan kebahagiaannya di sana.
“Terima kasih Mini... aku juga
sangat menyayangimu.” Ucap Rider sembari mengambil bunga mahkota ungu itu yang
kemudian ia bawa ke istana untuk tuan putri.
Selang beberapa hari kemudian,
tuan putri siuman. Setelah itu Rider dan tuan putri pun menikah. Dengan segala
upaya akhirnya tuan putri berhasil menyadarkan Rider untuk tetap tinggal di
istana sebagai penerus kerajaan. Karena ia tahu tidak ada yang lain sebagai pengganti
raja selain dirinya. Dengan rasa tanggung jawab Rider pun menerima perintah
ayahandanya yang ia bantah selama ini.
“Mini, kau adalah bidadari
terbaik yang pernah ku lantik.” Kata ratu bidadari pada Mini sambil memberikan
senyum bangga.
Mini hanya tersenyum dan
hatinya merasa bahagia, namun ia tak tahu mengapa hatinya selalu bahagia dan
bibir manisnya berhias senyum setiap saat. Hal inilah yang membuat langit
begitu cerah sepanjang masa menghiasi kehidupan dunia yang penuh cinta dan
kasih sayang.
Kadang untuk dapat menyatakan
cinta pada orang yang kita cintai diperlukan pengorbanan agar cinta kita
tersampaikan. Meski perih, sakit dan terluka itu adalah hal biasa dalam
bercinta. Karena cinta yang tulus datangnya dari hati, tak pernah ingin melihat
orang yang kita cintai tersakiti. Peraasan yang tak terpisahkan antara cinta
dan cemburu. Walau pun begitu ketika ketulusan cinta itu diberikan, maka adakan
datang kebahagiaan yang tak terhingga jauh lebih indah dari yang kita bayangkan
sebelumnya. Cintailah ia dengan cinta yang tulus dan penuh kasih.
(Win^-^)
...o0o...
karya yang kepikiran waktu naik motor
ReplyDelete