Masih calon bidan_Pancarkan Senyum SEMANGATmu!!

Masih calon bidan_Pancarkan Senyum SEMANGATmu!!

Monday, January 26, 2015

Bagaimana jika cinta terkhianati?



Apabila Anda ditinggalkan atau dikecewakan orang yang sangat Anda cintai, biarkan saja. Seharusnya Anda kasihan padanya.
Anda hanya kehilangan orang yang tidak mencintai Anda. Sedangkan dia? Dia baru saja kehilangan orang yang sangat mencintai dirinya, andai dia tahu.
Lalu, untuk apa Anda tenggelam dalam rasa kecewa? Lanjutkan hidup. Anda  lebih layak untuk mendapat pasangan hidup yang lebih baik.
Apabila Anda ditinggalkan karena pasangan Anda selingkuh dengan orang lain, kasihanilah juga orang ketiga itu. Dia hanya telah merebut orang yang kualitas cintanya telah terbukti rendah dan buruk dari Anda.
Kemudian bersyukurlah kepada Tuhan, dan percayalah bahwa Dia telah menyiapkan pasangan hidup yag jauh lebih baik. Yang kualitasnya selaras dengan Anda yang baik dan panuh cinta.
 KAU, AKU & KUA @tweetnikah.com



Mahkota Wanita

Wahai wanita, atas nama cinta, jangan sekali-kali engkau serahkan mahkota kegadisanmu sebelum Akad Nikah resmi terucapkan. Wahai lelaki, atas nama cinta, jangan kau minta dan paksa wanita yang engkau cinta untuk melakukan hal yang belum semestinya. Atas nama cinta, kalian manis berkata. Tapi sesungguhnya, itu hanyalah nafsu belaka yang berbicara.
Atas nama cinta kalian lakukan dosa, setelah terjadi hanya sesal dan arimata yang akan tersisa. Jika engkau benar saling mencinta, tentulah kalian akan saling menjaga. Ingatlah, hanya dengan sebuah ikatan sumpah suci atas Nama Tuhan, barulah kalian halal bercumbu mesra.
Itulah sumpah diatas cinta yang sebenarnya.

Aku, Kau & KUA by @tweetnikah


Saturday, December 20, 2014

Aku Bisa GILA!!!



Aku Bisa GILA!!!
Penulis : Wiwin Budiarti

“Ahhhh... Pandawa, kalian keren banget!”
Itu adalah teriakan yang sama setiap kali drama Mahabharata dimulai. Entah setan apa yang merasuki tubuh Lembayung sampai dia begitu tergila-gila dengan Mahabharata. Faktor fisik dan jalan ceritanya yang menarik membuat gadis centil satu ini begitu menggemari sinetron orang berhidung mancung itu. Tidak aneh memang jika sekarang gadis-gadis seumur jagung menyukai Mahabharata, karena sejak ditayangkan dilayar kaca televisi, Mahabharata menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia zaman sekarang.
“Yung, mau ke mana kamu?”
“Ke rumah Raras, mau ngembaliin DVD Mahabharata, bu.”
“Jangan lama-lama, nanti yang jaga warung siapa? Ibu sebentar lagi mau ke pasar ini.”
“Iya bu, enggak lama-lama kok. Paling cuma dua jam.”
Selama perjalanan ke rumah Raras, tak henti-henti Lembayung bersenandung lagu Mahabharata, padahal tidak sepatah syair pun ia tahu artinya. Bahkan untuk pengucapannya pun dia salah kaprah, hanya seenak mulutnya yang cas cis cus.
Setiba di sana ternyata Raras tidak ada di rumah. Kata Tante, Raras sedang pergi ke swalayan untuk membeli beberapa keperluan.
“Udah makan belum Yung?”
“Belum, Te...”
“Makan dulu sini sama Tante! Paling Raras pulangnya nanti. Bakal lama kalau nungguin dia pulang.”
“Makasih, Te. Nanti saja.”
“Urusan Mahabharata lagi? Ya sudah, sana tunggu di kamar saja.”
“Iya, Te. Kok tahu?”
Ibu Raras hanya menghela nafas panjang, karena dia tahu beberapa minggu terakhir ini Lembayung dan Raras sedang gencar-gencarnya membicarakan Mahabharata.
Di kamar Raras, Lembayung selalu dibuat terpukau dengan poster besar yang terpampang nyata di dinding sisi kepala tempat tidur Raras. Bibir tipisnya secara otomatis menarik senyum lebar ketika melihat sosok gagah perkasa yang ada di dalam poster itu. Tubuh tinggi semampai, dada bidang, badan kekar berotot, wajah berkharisma dengan mata tajam dan hidung yang mancung membuat gadis ABG 16 tahun ini berbunga-bunga saat melihatnya. Ini adalah detik-detik yang ia sukai ketika masuk ke kamar Raras.
“Raras, kamu tidak waras memasang poster gila itu.” Bisiknya dalam hati. Jantungnya kini melesat-lesat seperti ada kembang api yang meletus di dalamnya.
Semakin lama ia menatap poster itu, semakin nyata ia merasakan kehidupan di dalamnya. Tatapannya tertuju pada Sadewa yang berdiri di sisi paling kanan. Mata Sadewa begitu genit berkedip padanya. Seolah ingin menyapa, “hai, Lembayung...”
 Tidak hanya Sadewa, kelima Pandawa bergerak dan hidup kamudian mereka keluar dari dalam poster, terjatuh dan terguling di atas kasur Raras. Lembayung yang sedari masih di ambang pintu ternganga melihat fenomena yang terjadi. Kemudian secara tiba-tiba pujaan hatinya berjalan mendekat. Selangkah demi selangkah Kesatria pamanah mendekatinya dengan tatapan mata elang menghujam ulu hatinya.
“Lembayung, sudah lama aku mencarimu.”
Lembayung hanya terdiam dengan hati yang bertanya-tanya, “kenapa dia tahu namaku?”
“Setiap malam aku bermimpi bertemu denganmu. Ku jelajahi seluruh negeri, namun tak bisa ku temukan sosok seperti dirimu. Dan akhirnya di rumah ini, di kamar ini, aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu, Lembayung...”
Gadis polos ini seakan lunglai dan mau ambruk. Otot dan tulangnya serasa lemas tak berdaya mendengar ucapan sang Arjuna. Dan tiba-tiba, GUBRAAAKKK!!!
“Hahaaa.... mimpi lagi?” Tanya Raras yang sudah satu jam yang lalu pulang dari swalayan.
Dia masih belum mengerti. Separuh nyawanya masih belum kembali ke raga yang terkulai lemas di lantai.
“Ya Tuhan, ternyata Cuma mimpi.” Keluhnya.
“Mahabharata lagi?” Tanya Raras.
“Iya.”
Sudah tiga kali Lembayung bermimpi yang sama. Ia merasa dirinya dan para lakon pandawa memiliki kemistri atau karena memang Lembayung yang terlalu memikirkan mereka.
“Tidurmu nyenyak sekali tadi. Oya, aku punya sesuatu untukmu.”
Lembayung bangkit dan menggapai selembar kertas mengkilap yang Raras berikan.
Melihat isi kertas itu, membuat wajah yang tadinya layu sekarang segar kembali.
“Kamu dapat dari mana?”
“Ada deh...”
Ia pun berdiri dan memeluk Raras dengan erat.
***
Mentari bersinar cerah pagi ini, aroma embun yang menetes dari dedaunan membawa kesegaran dan semerbak semangat masuk menembus kamar Lembayung. Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Berkat selembar tiket yang Raras berikan, hari ini Lembayung berencana pergi ke kontes wanita cantik untuk memperebutkan hadiah untuk dinner bersama Arjuna. Bertemu dengan lakon Pandawa secara langsung merupakan impiannya sejak dia mengidolakan Mahabharata. Dan bisa makan bersama dengan salah satu lakonnya adalah hal yang lebih dari cukup untuk memuaskan hasrat hati seorang penggemar, khususnya untuk gadis SMA berkacamata ini.
“Yung, kecilin suara tapenya!” Perintah ibu yang sedang memasak sarapan di dapur.
Lembayung yang sedari tadi sedang berdandan tetap acuh dengan teriakan-teriakan yang sedari tadi menggema dari arah dapur.
“Rasanya kaya mimpi, Ras. Makasih ya” Ucapnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Sama-sama. Aku ikut seneng kalo kamu juga seneng. Semoga berhasil ya!” Balas Raras sambil mengepalkan tangan tanda memberi semangat.
Lembayung membalas dengan senyum dan pipi yang semakin merona. Ia tatap poster Mahabharata yang tertempel di tembok samping kanan kaca rias yang ia gunakan. Dia merasa begitu bersemangat setelah melihat sosok Arjuna yang ia kagumi.
“Satu langkah lagi aku akan bertemu denganmu, Arjuna.” Bisiknya dalam hati.
Arjuna Mencari Cinta adalah event terbesar yang pernah ia ikuti, sehingga pantas saja segala hal yang ia butuhkan untuk acara ini sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki sudah ia permak sedemikian rupa agar ia terlihat sempurna malam ini dan dapat meluluhkan hati Arjuna untuk memilihnya.
Untuk acara besar ini, Lembayung mengenakan sari berwarna merah cerah dengan tetek bengek asesorisnya dari mulai kalung, gelang, anting, dan lain-lain. Riasan wajah tak kalah elegan dengan goresan pewarna merah di bibir tipisnya, serta untuk kali pertama Lembayung melepas kacamatanya kamudian ia gunakan lensa kontak sebagai pengganti selain itu juga untuk mempercantik penampilannya kini.
“Kamu cantik sekali. Two thumbs for you!” Raras mengacungkan kedua jempol tangannya sebagai tanda ia bangga melihat Lembayung berias seperti itu.
Untuk melengkapi keanggunannya, ia mencoba tak banyak bicara. Ia hanya membalas ucapan sahabatnya dengan senyuman yang sedikit dibuat-buat.
“Oke, bagaimana semua perlengkapan sudah siap semua?” Tanya Lembayung pada sahabatnya yang sedari tadi sibuk menyiapkan perlengkapannya malam ini.
“Sudah tenang saja, sudah aku siapkan. Ayo, tinggal berangkat!” Jawab Raras tegas sambil menggandeng tangan Lembayung menuju mobil yang ia parkir di depan rumah.
”Pengumuman-pengumuman. Bagi peserta audisi Arjuna Mencari Cinta harap segera menuju ke loket registrasi untuk konfirmasi kehadiran dan pengambilan nomor urut penampilan!” Seru salah satu crew acara dari dalam sekretariat.
Raras dan Lembayung segera menuju tempat pendaftaran.  Pengumuman yang baru saja diserukan bak kalimat hipnotis, karena dalam sekejap saja antrean loket pendaftaran sudah seperti ular sanca panjangnya. Mereka menghela nafas panjang.
“Sudah sabar...” hibur Raras pada sahabatnya yang memasang wajah kecewa melihat antrean yang cukup panjang.
Hampir satu jam mereka menunggu akhirnya mereka sampai di barisan terdepan.
“Dengan siapa?” Tanya petugas loket.
“Lembayung Saraswati.” Jawab Lembayung cepat.
“Bisa saya lihat surat undangannya?”
Raras dengan sigap mengorek-orek tas tangannya untuk mengambil surat undangan peserta yang memang harus dibawa saat daftar ulang. Lebih dari satu menit Raras mencari. Lembayung semakin gusar melihat tingkah sahabatnya yang tidak menunjukan tanda bahwa benda yang ia cari ada dalam tas itu.
“Bagaimana Ras, ada?” tanya Lembayung cemas.
“Belum ada.” Ucap Raras merasa tidak enak.
“Ada mbak?” Tanya petugas loket lebih tegas.
Lembayung hanya melambai.
“Maaf mbak, kalau belum ada bisa dicari dulu, sekarang giliran pengantre selanjutnya agar tidak terlalu lama.”
“Tapi kami sudah menunggu dari tadi!” Ucap Lembayung sedikit membentak.
Petugas loket merasa agak terganggu dan dengan mata yang tajam ia lirik dua petugas keamanan mengisyaratkan “bawa pergi mereka!” Namun, sebelum hal itu terjadi Lembayung segera keluar dari antrean dan duduk di kursi tunggu sambil membantu Raras mencari selambar kertas yang sangat penting untuk keikutsertaan dirinya dalam acara ini.
“Aduh... gimana sih Ras, katanya tadi udah beres semua?” Keluh Lembayung sembari merengek pada sahabatnya.
“Aku juga udah berusaha nyari Yung, tapi belum ketemu juga!” Sentak Raras.
Emosi mereka memuncak dan hampir terjadi adu mulut, namun Raras mencoba menahan karena ia sadar, bahwa keikutsertaan Lembayung pada acara ini adalah karena ide darinya.
“Sorry banget Yung, kayanya suratnya ketinggalan di meja rias kamarmu deh...” sesal Raras.
“Lalu bagaimana?” Jawab Lembayung tak berdaya menahan emosi yang meluap-luap, hingga butiran bening pun keluar dari sudut matanya.
Ada sesal yang menyeruak dari hatinya, mengapa hal seperti ini harus terjadi saat selangkah lagi ia bertemu sang pujaan hati.
“Aku ambil sekarang ya!”
“Tidak usah! Biarkan saja. Aku telpon orang rumah saja buat nganterin.” Tegas Lembayung.
“Hei, ini salahku. Aku wajib membayarnya. Lagian aku pengen jadi sahabat terbaik buat kamu yang salama ini udah bantuin aku.” Terang Raras dan ia pun langsung berlari pergi.
“Ras!” seolah tak mampu mengejar, Lembayung duduk lunglai.
Ia tak menyangka sahabatnya akan berbuat seperti padanya. Memang sejak kecil mereka berdua sudah berteman akrab dan sangat baik. Lembayung teringat ketika baru masuk SMP, Raras tak cukup pandai bergaul. Namun dengan adanya Lembayung yang super cerewet dan supel pada semua orang membuat Raras juga memiliki teman banyak, pandai bicara dan tidak pemalu lagi. Mereka hadir dan saling melengkapi.
Hingga pada suatu saat, keluarga Raras diambang kebangkrutan, hutang berceceran, bahkan Raras tak pernah mendapat uang jajan selama hampir satu tahun hingga keuangan keluarganya pulih kembali. Dalam keadaan yang sedemikian sulit, Lembayung dan keluarganya tetap berada di samping mereka. Membantu Raras sekolah dan memenuhi kebutuhannya selama beberapa saat. Mereka sudah seperti kaluarga yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kasih. Hal inilah yang selalu membuat Raras tak bisa menolak apa yang Lembayung pinta. Walau pun begitu Lembayung tetaplah Lembayung. Ia tetap menjadi dirinya yang ceria dan apa adanya. Tak pernah ada rasa angkuh atau merasa superior karena ia telah membantu Raras. Baginya Raras adalah sahabat yang ia sayangi.
“Shaheer Shaheer Shaheer!!”
“Arjuna!!!”
Sorak sorai peserta dan penonton bergemuruh sepanjang red carpet, saat Shaheer Syeih tiba. Hal ini membuat hati Lembayung berdebar-debar diselimuti kecemasan menanti sahabatnya yang tak kunjung datang.
“Raras mana sih, kok belum dateng-dateng.” Mulutnya sudah berkomat-kamit berdoa dan  berharap Raras datang tepat waktu.
“Panggilan ditujukan kepada Saudari Lembayung Saraswati, dimohon untuk menuju ke loket pendafataran!” Panggil petugas loket.
“Bagaimana mbak Lembayung, apakah surat undangannya sudah ada?” Tanya petugas loket untuk ketiga kalinya setelah dua kali panggilan surat undangan dan Raras belum tiba juga“
“Sebentar lagi ya?” Pintanya memelas.
“Tapi mbak, ini sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan.”
“Sebentar lagi sebentar lagi. Ini impian saya sejak dulu pak. Saya ingin sekali ketemu Arjuna dan pemain Mahabharata lainnya.” Rayu Lembayung lebih mendalam.
Ketika Lembayung sedang berusaha keras untuk merayu petugas loket, ada suara perempuan tak lain sahabat dekatnya dari arah lift. Lembayung dengan cepat berlari ke arah Raras dan menggapai surat undangan yang ia butuhkan untuk daftar ulang. Dengan wajah yang terlihat lesu serta tatapan mata nanar Raras menyerahkan secarik kertas itu. sepersekian detik kemudian gadis si penggila Mahabharata menggapai tanpa ragu. Lembayung berbalik dan menuju ke loket. Beberapa saat kemudian langkahnya terhenti. Ia ingin melihat Raras sekali lagi dan mengucapkan beberapa patah kata yang tadi sempat terlupa.
“Ras, maka... sih” Ucapannya sempat terbata setelah ia sadar Raras sudah tidak di belakangnya. Namun ia tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Mungkin dia ke kamar kecil.” Gerutunya.
Secepat kilat ia menyerahkan surat undangan kemudian ia masuk ke ruang tunggu untuk menunggu dirinya dipanggil ke atas panggung dan bertemu Shaheer sang Arjuna.
Tinggal dua peserta lagi sebelum dirinya dipanggil. Tangan Lembayung masih tremor dan hatinya masih belum bisa tenang setelah dia akhirnya berhasil mendaftar. Sambil menunggu dia coba berkaca, memperhatikan apakah riasannya rusak atau tidak. Sambil sedikit mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dan lehernya tiba-tiba terbesit perasaan aneh dalam hatinya.
“Ada yang ganjal dengan Raras, dia terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Apakah dia capekan? Atau jangan-jangan dia menderita anemia?” Pikirannya melantur tidak karuan.
“Tenang saja kawan. Sepulang dari acara ini akan ku traktir kau makan malam yang enak.” Bisiknya dalam hati sambil mengenggam erat tissue yang ia gunakan untuk menghapus keringatnya tadi.
 Kurang dari lima menit sebelum ia dipanggil tiba-tiba telepon genggamnya  berdering. Ia agak sungkan mengangkatnya, namun sepertinya telepon itu cukup penting karena tetap saja berdering setelah ia abaikan. Ia dengan malas mengangkatnya. Dari layar telepon genggam itu tertulis nama yang tidak asing.
“Hallo, ada apa Ras?”
“Benar ini dengan Saudari Lembayung?” Terdengar suara lelaki setengah baya menelpon dirinya.
“Benar, maaf ini siapa?” Tanya Lembayung penasaran.
“Ini dari kepolisian...”
Lembayung mendengar setiap kalimat demi kalimat dari pihak kepolisian tentang hal yang terjadi. Ini adalah kejadian yang tidak disangka dan tak terduga sebelumnya. Kakinya semakin tremor, tapi dia tak percaya karena baru beberapa menit yang lalu Raras datang untuk membawakan surat undangan audisi untuknya. Demi menghapus keraguannya, dia pun keluar dari ruang tunggu menemui Raras.
Setengah berlari ia mencari Raras, namun tak juga melihatnya. Emosinya memuncak, air mata pun mengalir deras dari sudut matanya. Riasan yang sebelumnya tertata rapih, kiri berantakan. Wajahnya coreng moreng oleh eye liner yang rusak. Ia menuju loket pendaftaran karena itulah tempat terakhir Lembayung melihat Raras. Dan kekecewaan pun menyelimuti hatinya setelah melihat ternyata di sana tak ada siapa pun kecuali petugas loket.
“Permisi pak, bapak melihat cewek rambut panjang di sekitar sini?” Tanya Lembayung memakasa.
“Tidak. Sejak mbak daftar ulang, saya cuma lihat mbak saja.” Jelas petugas.
“Yang benar saja pak? Cewek yang tadi ngasih surat undangan pak. Masa enggak lihat?”
“Saya tidak lihat mbak. Saya cuma lihat mbak sedari tadi mondar-mandir ke sana sini. Maaf mbak, saya sedang sibuk. Kalau mbak mencari orang, tanya saja bagian keamanan.” Jelas petugas kemudian ia segera masuk ke ruangan dalam.
“Raras kamu di mana sih? Jangan bikin aku khawatir deh. Kamu tadi udah ke sini kan?” Ribuan pertanyaan ia lontarkan untuk diri sindiri. Sedari tadi hatinya tidak karuan.
“Baiklah sekarang kita panggil peserta terakhir kita LEMBAYUNG SARASWATI!”
Lembayung mendengar panggilan itu, tapi perasaannya masih kacau. Ia dilema antara harus melanjutkan kontes yang selama ini ia impikan ataukah pulang ke rumah menemui sahabatnya yang sekarang tak jelas keadaannya seperti apa.
Meski pun sulit pada akhirnya dia memang harus memilih satu pilihan yang dia anggap harus dilakukan tanpa melihat betapa kecewanya ia jika pilihan yang lain tak bisa ia lakukan.
“Maafkan aku, Raras...” Air matanya jatuh pada langkah kaki pertamanya mengambil keputusan.
Ia melesat secepat kilat seperti tak ingat ia sedang mengenakan sepatu berhak tinggi, kain sari yang ia pakai melambai-lambai, bunyi gemerincing gelang seperti getaran pembangkit jiwa untuk bertemu sahabat yang ia sayangi. Di mana hati dan pikirannya jika dia tahu nasib Raras sekarang berada di ujung tanduk sementara ia berlenggak-lenggok memenuhi hasrat ambisinya bertemu Arjuna.
Riasan dan caranya berpakaiannya sudah seperti orang gila yang baru kabur dari rumah sakit jiwa. Dengan wajah coreng moreng dan rambut yang sudah tak tertata rapi ia berjalan mendekat tempat kejadian perkara. Ia tak peduli dengan pandangan aneh dari orang-orang di sekelilingnya yang memandang dia aneh, karena memang inilah yang terjadi.
“Apakah Anda Raras?” Tanya seorang polisi yang sedang melakukan olah TKP yang suaranya tak asing bagi Raras.
Raras tak berdaya untuk menjawab, ia hanya mampu menganggukan kepala. Selangkah demi selangkah ia mendekati sosok yang berbaring di tepi jalan. Tubuhnya telah tertutup kain berwarna hitam. Terlihat mobil yang ia naiki tadi sore teronggok reot di samping raga tak berdaya itu. Seorang polisi wanita mendampinginya mendekati jazad yang diperkirakan itu Raras. Menurut saksi mata telah terjadi kecelakaan mobil dengan truk mengangkut semen sekitar satu jam yang lalu.
“Aku enggak percaya. Aku ingin wajahnya! Aku yakin dia bukan Raras! Baru aja dia nganter surat buat aku!”
Polisi wanita itu membuka kain hitam berlumur darah yang menutup mayat itu. Setelah wajahnya terlihat dari rambut, dahi, mata, hidung hingga mulut dan dagunya telah terlihat dan meyakinkan Lembayung bahwa itu adalah sahabat kesayangannya. Ia tergolek lemas di samping Raras. Ia menangis, menyesal, dan merasa bersalah membiarkan gadis malang itu pulang. Lambaian terakhir Raras terbayang-bayang, bagitu perhatiannya Raras menyiapkan semua untuk Lembayung. Hatinya tercabik dan terluka karena orang yang ia sayangi harus pergi seperti ini.
“Raras, bangun. Jangan tinggalin aku!”
***