Penulis
: Wiwin Budiarti
“Ahhhh...
Pandawa, kalian keren banget!”
Itu adalah
teriakan yang sama setiap kali drama Mahabharata dimulai. Entah setan apa yang
merasuki tubuh Lembayung sampai dia begitu tergila-gila dengan Mahabharata. Faktor
fisik dan jalan ceritanya yang menarik membuat gadis centil satu ini begitu
menggemari sinetron orang berhidung mancung itu. Tidak aneh memang jika
sekarang gadis-gadis seumur jagung menyukai Mahabharata, karena sejak
ditayangkan dilayar kaca televisi, Mahabharata menjadi tontonan wajib
masyarakat Indonesia zaman sekarang.
“Yung, mau
ke mana kamu?”
“Ke rumah
Raras, mau ngembaliin DVD Mahabharata, bu.”
“Jangan
lama-lama, nanti yang jaga warung siapa? Ibu sebentar lagi mau ke pasar ini.”
“Iya bu,
enggak lama-lama kok. Paling cuma dua jam.”
Selama
perjalanan ke rumah Raras, tak henti-henti Lembayung bersenandung lagu
Mahabharata, padahal tidak sepatah syair pun ia tahu artinya. Bahkan untuk pengucapannya
pun dia salah kaprah, hanya seenak mulutnya yang cas cis cus.
Setiba di sana
ternyata Raras tidak ada di rumah. Kata Tante, Raras sedang pergi ke swalayan
untuk membeli beberapa keperluan.
“Udah makan
belum Yung?”
“Belum,
Te...”
“Makan dulu
sini sama Tante! Paling Raras pulangnya nanti. Bakal lama kalau nungguin dia
pulang.”
“Makasih,
Te. Nanti saja.”
“Urusan
Mahabharata lagi? Ya sudah, sana tunggu di kamar saja.”
“Iya, Te.
Kok tahu?”
Ibu Raras
hanya menghela nafas panjang, karena dia tahu beberapa minggu terakhir ini
Lembayung dan Raras sedang gencar-gencarnya membicarakan Mahabharata.
Di kamar
Raras, Lembayung selalu dibuat terpukau dengan poster besar yang terpampang
nyata di dinding sisi kepala tempat tidur Raras. Bibir tipisnya secara otomatis
menarik senyum lebar ketika melihat sosok gagah perkasa yang ada di dalam
poster itu. Tubuh tinggi semampai, dada bidang, badan kekar berotot, wajah
berkharisma dengan mata tajam dan hidung yang mancung membuat gadis ABG 16
tahun ini berbunga-bunga saat melihatnya. Ini adalah detik-detik yang ia sukai
ketika masuk ke kamar Raras.
“Raras, kamu
tidak waras memasang poster gila itu.” Bisiknya dalam hati. Jantungnya kini
melesat-lesat seperti ada kembang api yang meletus di dalamnya.
Semakin lama
ia menatap poster itu, semakin nyata ia merasakan kehidupan di dalamnya.
Tatapannya tertuju pada Sadewa yang berdiri di sisi paling kanan. Mata Sadewa
begitu genit berkedip padanya. Seolah ingin menyapa, “hai, Lembayung...”
Tidak hanya
Sadewa, kelima Pandawa bergerak dan hidup kamudian mereka keluar dari dalam
poster, terjatuh dan terguling di atas kasur Raras. Lembayung yang sedari masih
di ambang pintu ternganga melihat fenomena yang terjadi. Kemudian secara
tiba-tiba pujaan hatinya berjalan mendekat. Selangkah demi selangkah Kesatria
pamanah mendekatinya dengan tatapan mata elang menghujam ulu hatinya.
“Lembayung,
sudah lama aku mencarimu.”
Lembayung
hanya terdiam dengan hati yang bertanya-tanya, “kenapa dia tahu namaku?”
“Setiap
malam aku bermimpi bertemu denganmu. Ku jelajahi seluruh negeri, namun tak bisa
ku temukan sosok seperti dirimu. Dan akhirnya di rumah ini, di kamar ini, aku
bisa bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu, Lembayung...”
Gadis polos
ini seakan lunglai dan mau ambruk. Otot dan tulangnya serasa lemas tak berdaya
mendengar ucapan sang Arjuna. Dan tiba-tiba, GUBRAAAKKK!!!
“Hahaaa....
mimpi lagi?” Tanya Raras yang sudah satu jam yang lalu pulang dari swalayan.
Dia masih
belum mengerti. Separuh nyawanya masih belum kembali ke raga yang terkulai
lemas di lantai.
“Ya Tuhan,
ternyata Cuma mimpi.” Keluhnya.
“Mahabharata lagi?”
Tanya Raras.
“Iya.”
Sudah tiga
kali Lembayung bermimpi yang sama. Ia merasa dirinya dan para lakon pandawa
memiliki kemistri atau karena memang Lembayung yang terlalu memikirkan mereka.
“Tidurmu
nyenyak sekali tadi. Oya, aku punya sesuatu untukmu.”
Lembayung
bangkit dan menggapai selembar kertas mengkilap yang Raras berikan.
Melihat isi
kertas itu, membuat wajah yang tadinya layu sekarang segar kembali.
“Kamu dapat
dari mana?”
“Ada deh...”
Ia pun
berdiri dan memeluk Raras dengan erat.
***
Mentari
bersinar cerah pagi ini, aroma embun yang menetes dari dedaunan membawa
kesegaran dan semerbak semangat masuk menembus kamar Lembayung. Hari yang
ditunggu akhirnya datang juga. Berkat selembar tiket yang Raras berikan, hari
ini Lembayung berencana pergi ke kontes wanita cantik untuk memperebutkan
hadiah untuk dinner bersama Arjuna.
Bertemu dengan lakon Pandawa secara langsung merupakan impiannya sejak dia
mengidolakan Mahabharata. Dan bisa makan bersama dengan salah satu lakonnya
adalah hal yang lebih dari cukup untuk memuaskan hasrat hati seorang penggemar,
khususnya untuk gadis SMA berkacamata ini.
“Yung,
kecilin suara tapenya!” Perintah ibu
yang sedang memasak sarapan di dapur.
Lembayung
yang sedari tadi sedang berdandan tetap acuh dengan teriakan-teriakan yang
sedari tadi menggema dari arah dapur.
“Rasanya
kaya mimpi, Ras. Makasih ya” Ucapnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Sama-sama.
Aku ikut seneng kalo kamu juga seneng. Semoga berhasil ya!” Balas Raras sambil
mengepalkan tangan tanda memberi semangat.
Lembayung
membalas dengan senyum dan pipi yang semakin merona. Ia tatap poster
Mahabharata yang tertempel di tembok samping kanan kaca rias yang ia gunakan.
Dia merasa begitu bersemangat setelah melihat sosok Arjuna yang ia kagumi.
“Satu
langkah lagi aku akan bertemu denganmu, Arjuna.” Bisiknya dalam hati.
Arjuna
Mencari Cinta adalah event terbesar
yang pernah ia ikuti, sehingga pantas saja segala hal yang ia butuhkan untuk
acara ini sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Tubuhnya dari ujung rambut hingga
ujung kaki sudah ia permak sedemikian rupa agar ia terlihat sempurna malam ini
dan dapat meluluhkan hati Arjuna untuk memilihnya.
Untuk acara
besar ini, Lembayung mengenakan sari berwarna merah cerah dengan tetek bengek asesorisnya dari mulai
kalung, gelang, anting, dan lain-lain. Riasan wajah tak kalah elegan dengan
goresan pewarna merah di bibir tipisnya, serta untuk kali pertama Lembayung
melepas kacamatanya kamudian ia gunakan lensa kontak sebagai pengganti selain itu
juga untuk mempercantik penampilannya kini.
“Kamu cantik
sekali. Two thumbs for you!” Raras
mengacungkan kedua jempol tangannya sebagai tanda ia bangga melihat Lembayung
berias seperti itu.
Untuk
melengkapi keanggunannya, ia mencoba tak banyak bicara. Ia hanya membalas
ucapan sahabatnya dengan senyuman yang sedikit dibuat-buat.
“Oke,
bagaimana semua perlengkapan sudah siap semua?” Tanya Lembayung pada sahabatnya
yang sedari tadi sibuk menyiapkan perlengkapannya malam ini.
“Sudah
tenang saja, sudah aku siapkan. Ayo, tinggal berangkat!” Jawab Raras tegas
sambil menggandeng tangan Lembayung menuju mobil yang ia parkir di depan rumah.
”Pengumuman-pengumuman.
Bagi peserta audisi Arjuna Mencari Cinta harap segera menuju ke loket
registrasi untuk konfirmasi kehadiran dan pengambilan nomor urut penampilan!”
Seru salah satu crew acara dari dalam
sekretariat.
Raras dan
Lembayung segera menuju tempat pendaftaran.
Pengumuman yang baru saja diserukan bak kalimat hipnotis, karena dalam
sekejap saja antrean loket pendaftaran sudah seperti ular sanca panjangnya.
Mereka menghela nafas panjang.
“Sudah
sabar...” hibur Raras pada sahabatnya yang memasang wajah kecewa melihat
antrean yang cukup panjang.
Hampir satu
jam mereka menunggu akhirnya mereka sampai di barisan terdepan.
“Dengan
siapa?” Tanya petugas loket.
“Lembayung
Saraswati.” Jawab Lembayung cepat.
“Bisa saya
lihat surat undangannya?”
Raras dengan
sigap mengorek-orek tas tangannya untuk mengambil surat undangan peserta yang
memang harus dibawa saat daftar ulang. Lebih dari satu menit Raras mencari.
Lembayung semakin gusar melihat tingkah sahabatnya yang tidak menunjukan tanda
bahwa benda yang ia cari ada dalam tas itu.
“Bagaimana
Ras, ada?” tanya Lembayung cemas.
“Belum ada.”
Ucap Raras merasa tidak enak.
“Ada mbak?”
Tanya petugas loket lebih tegas.
Lembayung
hanya melambai.
“Maaf mbak,
kalau belum ada bisa dicari dulu, sekarang giliran pengantre selanjutnya agar
tidak terlalu lama.”
“Tapi kami
sudah menunggu dari tadi!” Ucap Lembayung sedikit membentak.
Petugas loket
merasa agak terganggu dan dengan mata yang tajam ia lirik dua petugas keamanan
mengisyaratkan “bawa pergi mereka!” Namun, sebelum hal itu terjadi Lembayung
segera keluar dari antrean dan duduk di kursi tunggu sambil membantu Raras
mencari selambar kertas yang sangat penting untuk keikutsertaan dirinya dalam
acara ini.
“Aduh...
gimana sih Ras, katanya tadi udah beres semua?” Keluh Lembayung sembari
merengek pada sahabatnya.
“Aku juga
udah berusaha nyari Yung, tapi belum ketemu juga!” Sentak Raras.
Emosi mereka
memuncak dan hampir terjadi adu mulut, namun Raras mencoba menahan karena ia
sadar, bahwa keikutsertaan Lembayung pada acara ini adalah karena ide darinya.
“Sorry
banget Yung, kayanya suratnya ketinggalan di meja rias kamarmu deh...” sesal
Raras.
“Lalu
bagaimana?” Jawab Lembayung tak berdaya menahan emosi yang meluap-luap, hingga
butiran bening pun keluar dari sudut matanya.
Ada sesal
yang menyeruak dari hatinya, mengapa hal seperti ini harus terjadi saat
selangkah lagi ia bertemu sang pujaan hati.
“Aku ambil
sekarang ya!”
“Tidak usah!
Biarkan saja. Aku telpon orang rumah saja buat nganterin.” Tegas Lembayung.
“Hei, ini
salahku. Aku wajib membayarnya. Lagian aku pengen jadi sahabat terbaik buat
kamu yang salama ini udah bantuin aku.” Terang Raras dan ia pun langsung
berlari pergi.
“Ras!”
seolah tak mampu mengejar, Lembayung duduk lunglai.
Ia tak
menyangka sahabatnya akan berbuat seperti padanya. Memang sejak kecil mereka
berdua sudah berteman akrab dan sangat baik. Lembayung teringat ketika baru masuk
SMP, Raras tak cukup pandai bergaul. Namun dengan adanya Lembayung yang super
cerewet dan supel pada semua orang membuat Raras juga memiliki teman banyak,
pandai bicara dan tidak pemalu lagi. Mereka hadir dan saling melengkapi.
Hingga pada
suatu saat, keluarga Raras diambang kebangkrutan, hutang berceceran, bahkan
Raras tak pernah mendapat uang jajan selama hampir satu tahun hingga keuangan
keluarganya pulih kembali. Dalam keadaan yang sedemikian sulit, Lembayung dan
keluarganya tetap berada di samping mereka. Membantu Raras sekolah dan memenuhi
kebutuhannya selama beberapa saat. Mereka sudah seperti kaluarga yang
menjunjung tinggi kebersamaan dan kasih. Hal inilah yang selalu membuat Raras
tak bisa menolak apa yang Lembayung pinta. Walau pun begitu Lembayung tetaplah
Lembayung. Ia tetap menjadi dirinya yang ceria dan apa adanya. Tak pernah ada
rasa angkuh atau merasa superior karena ia telah membantu Raras. Baginya Raras
adalah sahabat yang ia sayangi.
“Shaheer
Shaheer Shaheer!!”
“Arjuna!!!”
Sorak sorai
peserta dan penonton bergemuruh sepanjang red
carpet, saat Shaheer Syeih tiba. Hal ini membuat hati Lembayung
berdebar-debar diselimuti kecemasan menanti sahabatnya yang tak kunjung datang.
“Raras mana
sih, kok belum dateng-dateng.” Mulutnya sudah berkomat-kamit berdoa dan berharap Raras datang tepat waktu.
“Panggilan
ditujukan kepada Saudari Lembayung Saraswati, dimohon untuk menuju ke loket
pendafataran!” Panggil petugas loket.
“Bagaimana
mbak Lembayung, apakah surat undangannya sudah ada?” Tanya petugas loket untuk
ketiga kalinya setelah dua kali panggilan surat undangan dan Raras belum tiba
juga“
“Sebentar
lagi ya?” Pintanya memelas.
“Tapi mbak,
ini sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang ditentukan.”
“Sebentar
lagi sebentar lagi. Ini impian saya sejak dulu pak. Saya ingin sekali ketemu
Arjuna dan pemain Mahabharata lainnya.” Rayu Lembayung lebih mendalam.
Ketika
Lembayung sedang berusaha keras untuk merayu petugas loket, ada suara perempuan
tak lain sahabat dekatnya dari arah lift. Lembayung dengan cepat berlari ke
arah Raras dan menggapai surat undangan yang ia butuhkan untuk daftar ulang. Dengan
wajah yang terlihat lesu serta tatapan mata nanar Raras menyerahkan secarik
kertas itu. sepersekian detik kemudian gadis si penggila Mahabharata menggapai
tanpa ragu. Lembayung berbalik dan menuju ke loket. Beberapa saat kemudian
langkahnya terhenti. Ia ingin melihat Raras sekali lagi dan mengucapkan
beberapa patah kata yang tadi sempat terlupa.
“Ras,
maka... sih” Ucapannya sempat terbata setelah ia sadar Raras sudah tidak di
belakangnya. Namun ia tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Mungkin dia
ke kamar kecil.” Gerutunya.
Secepat
kilat ia menyerahkan surat undangan kemudian ia masuk ke ruang tunggu untuk
menunggu dirinya dipanggil ke atas panggung dan bertemu Shaheer sang Arjuna.
Tinggal dua
peserta lagi sebelum dirinya dipanggil. Tangan Lembayung masih tremor dan
hatinya masih belum bisa tenang setelah dia akhirnya berhasil mendaftar. Sambil
menunggu dia coba berkaca, memperhatikan apakah riasannya rusak atau tidak. Sambil
sedikit mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dan lehernya tiba-tiba
terbesit perasaan aneh dalam hatinya.
“Ada yang
ganjal dengan Raras, dia terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Apakah dia
capekan? Atau jangan-jangan dia menderita anemia?” Pikirannya melantur tidak
karuan.
“Tenang saja
kawan. Sepulang dari acara ini akan ku traktir kau makan malam yang enak.” Bisiknya
dalam hati sambil mengenggam erat tissue
yang ia gunakan untuk menghapus keringatnya tadi.
Kurang dari lima menit sebelum ia dipanggil
tiba-tiba telepon genggamnya berdering.
Ia agak sungkan mengangkatnya, namun sepertinya telepon itu cukup penting
karena tetap saja berdering setelah ia abaikan. Ia dengan malas mengangkatnya.
Dari layar telepon genggam itu tertulis nama yang tidak asing.
“Hallo, ada
apa Ras?”
“Benar ini
dengan Saudari Lembayung?” Terdengar suara lelaki setengah baya menelpon
dirinya.
“Benar, maaf
ini siapa?” Tanya Lembayung penasaran.
“Ini dari
kepolisian...”
Lembayung
mendengar setiap kalimat demi kalimat dari pihak kepolisian tentang hal yang
terjadi. Ini adalah kejadian yang tidak disangka dan tak terduga sebelumnya.
Kakinya semakin tremor, tapi dia tak percaya karena baru beberapa menit yang
lalu Raras datang untuk membawakan surat undangan audisi untuknya. Demi
menghapus keraguannya, dia pun keluar dari ruang tunggu menemui Raras.
Setengah
berlari ia mencari Raras, namun tak juga melihatnya. Emosinya memuncak, air
mata pun mengalir deras dari sudut matanya. Riasan yang sebelumnya tertata
rapih, kiri berantakan. Wajahnya coreng moreng oleh eye liner yang rusak. Ia menuju loket pendaftaran karena itulah
tempat terakhir Lembayung melihat Raras. Dan kekecewaan pun menyelimuti hatinya
setelah melihat ternyata di sana tak ada siapa pun kecuali petugas loket.
“Permisi
pak, bapak melihat cewek rambut panjang di sekitar sini?” Tanya Lembayung
memakasa.
“Tidak.
Sejak mbak daftar ulang, saya cuma lihat mbak saja.” Jelas petugas.
“Yang benar
saja pak? Cewek yang tadi ngasih surat undangan pak. Masa enggak lihat?”
“Saya tidak
lihat mbak. Saya cuma lihat mbak sedari tadi mondar-mandir ke sana sini. Maaf
mbak, saya sedang sibuk. Kalau mbak mencari orang, tanya saja bagian keamanan.”
Jelas petugas kemudian ia segera masuk ke ruangan dalam.
“Raras kamu
di mana sih? Jangan bikin aku khawatir deh. Kamu tadi udah ke sini kan?” Ribuan
pertanyaan ia lontarkan untuk diri sindiri. Sedari tadi hatinya tidak karuan.
“Baiklah
sekarang kita panggil peserta terakhir kita LEMBAYUNG SARASWATI!”
Lembayung
mendengar panggilan itu, tapi perasaannya masih kacau. Ia dilema antara harus
melanjutkan kontes yang selama ini ia impikan ataukah pulang ke rumah menemui
sahabatnya yang sekarang tak jelas keadaannya seperti apa.
Meski pun
sulit pada akhirnya dia memang harus memilih satu pilihan yang dia anggap harus
dilakukan tanpa melihat betapa kecewanya ia jika pilihan yang lain tak bisa ia
lakukan.
“Maafkan
aku, Raras...” Air matanya jatuh pada langkah kaki pertamanya mengambil
keputusan.
Ia melesat
secepat kilat seperti tak ingat ia sedang mengenakan sepatu berhak tinggi, kain
sari yang ia pakai melambai-lambai, bunyi gemerincing gelang seperti getaran
pembangkit jiwa untuk bertemu sahabat yang ia sayangi. Di mana hati dan
pikirannya jika dia tahu nasib Raras sekarang berada di ujung tanduk sementara
ia berlenggak-lenggok memenuhi hasrat ambisinya bertemu Arjuna.
Riasan dan
caranya berpakaiannya sudah seperti orang gila yang baru kabur dari rumah sakit
jiwa. Dengan wajah coreng moreng dan rambut yang sudah tak tertata rapi ia
berjalan mendekat tempat kejadian perkara. Ia tak peduli dengan pandangan aneh
dari orang-orang di sekelilingnya yang memandang dia aneh, karena memang inilah
yang terjadi.
“Apakah Anda
Raras?” Tanya seorang polisi yang sedang melakukan olah TKP yang suaranya tak
asing bagi Raras.
Raras tak
berdaya untuk menjawab, ia hanya mampu menganggukan kepala. Selangkah demi
selangkah ia mendekati sosok yang berbaring di tepi jalan. Tubuhnya telah
tertutup kain berwarna hitam. Terlihat mobil yang ia naiki tadi sore teronggok
reot di samping raga tak berdaya itu. Seorang polisi wanita mendampinginya
mendekati jazad yang diperkirakan itu Raras. Menurut saksi mata telah terjadi
kecelakaan mobil dengan truk mengangkut semen sekitar satu jam yang lalu.
“Aku enggak
percaya. Aku ingin wajahnya! Aku yakin dia bukan Raras! Baru aja dia nganter
surat buat aku!”
Polisi
wanita itu membuka kain hitam berlumur darah yang menutup mayat itu. Setelah
wajahnya terlihat dari rambut, dahi, mata, hidung hingga mulut dan dagunya
telah terlihat dan meyakinkan Lembayung bahwa itu adalah sahabat kesayangannya.
Ia tergolek lemas di samping Raras. Ia menangis, menyesal, dan merasa bersalah
membiarkan gadis malang itu pulang. Lambaian terakhir Raras terbayang-bayang,
bagitu perhatiannya Raras menyiapkan semua untuk Lembayung. Hatinya tercabik
dan terluka karena orang yang ia sayangi harus pergi seperti ini.
“Raras,
bangun. Jangan tinggalin aku!”
***